Kupandangi
sekali lagi kertas berwarna biru muda yang sejak tadi tergeletak di meja.
Undangan reuni yang hampir setiap tahun selalu mampir di rumahku selama tujuh
tahun ini dan tak pernah kubaca, apalagi kutanggapi. Huh! Desahku. Entahlah,
aku sendiri tak tahu perasaan apa yang menyelimutiku. Tapi yang jelas aku malas
dan kesal mengingat kejadian – kejadian tujuh tahun lalu itu. Dan itulah yang
membuatku terus membuang undangan itu ke tempat sampah setiap kali kertas merah
muda, atau lain kali berwarna biru, atau warna lainnya itu mampir ke rumahku.
“
nda, masih nggak mau datang?” Anugrah, sosok yang telah beberapa tahun hidup
bersamaku, seperti tahun – tahun sebelumnya menanyaiku.
Aku
hanya diam.
“
emang bunda nggak kangen sama temen – temen bunda? tuh, mereka selalu
ngirim undangan tiap tahun, pasti pada kangen sama bunda.”
aku
masih diam.
Mereka
rindu padaku? Rindu pada orang yang tak pernah mereka anggap keberadaannya?
Rindu pada orang yang tak pernah mereka hargai jerih payahnya? Oh, tidak!! Tak
mungkin mereka rindu padaku.
“
nda, emang apa sih yang bikin bunda ga mau datang ? malu punya suami kaya
prince charming gini? hm?” tuh kan? Mulai deh…! Biasa, memuji diri sendiri..!
Aku
masih diam menatap wajah cengengesan di depanku yang ingin sekali rasanya
kucubit.
“huu…..nggak
ya…kalo diliat sama orang buta dari Monas sih emang mirip….he…he…”
waaaaa
………cepat – cepat kubergegas menuju dapur sebelum kebiasaan tangan mas Aan kalau
kuledek berhasil menarik ujung kerudungku. Weee….ga kena!
……………………..
Mas
Aan sedang istirahat, tidur mungkin. Sedangkan Farhan dan Farah belum pulang
dari TPA. Sendirian di dapur membuatku terhanyut ke masa lampau. Mengukir
kembali kenangan – kenangan masa itu.
“
May, ini ada beberapa lomba, kamu boleh pilih yang kamu suka dan cari teman –
teman untuk yang beregu.” Pak Hendri menyodorkan secarik kertas di depanku.
Lomba
cerdas cermat…….Mengarang….. MTQ…. Debat antar SMU….pidato…nasyid…cerdas cermat
sosiologi..geografi…dln…mataku terus menyusuri baris – demi baris pada kertas
berukuran A4 tersebut. Hm…boleh juga, pikirku.
“gimana
May? Bisa?”
“
ya pak, makasih ya pak, nanti saya cari teman.” Sahutku.
Setelah
beberapa menit aku tiba di kelas, tim langsung terbentuk. Walhasil, walaupun
hanya masuk lima besar di pidato dan hanya juara tiga dalam nasyid, tapi dalam
cerdas cermat kami berhasil masuk sepuluh besar sekota Bogor, dalam mengarang
aku berhasil mendapat juara dua dari seratus lima puluh peserta, MTQ…cerdas cermat
sosiologi, geografi…berhasil kami dapatkan peringkat dua, debat…timku juara dua
sekabupaten dan kotamadya! Perasaan senang meliputiku.
Namun
tampaknya kebahagiaan dan kebanggaan karena telah berprestasi untuk sekolah tak
bertahan lama. Hancur lebur pada hari kuterima buku tahunan, buku kenangan. Aku
kesal. Mengapa diantara profil teman – teman berprestasi tak ada photo dan
profilku?
Kuteliti
sekali lagi lembaran – lembaran itu. Benar – benar tak ada! Lalu kutelusuri
photo – photo lain yang tertera di sana. Di sana kutemukan nama Indra dengan
prestasi sepuluh besar di kelasnya, juara dua debatnya, lalu ada Sintya dengan
juara dua MTQ-nya, lalu Riesma dengan juara dua lomba debatnya, lomba
pidato-nya, juara dua MTQnya, dan nama – nama lainnya. Lalu di mana namaku
? aku memang bukan anak konglomerat kaya seperti halnya Dio, anak pejabat yang
juga berprestasi dan menjabat ketua OSIS itu, tapi apakah aku yang juga sebagai
anak baru dan langsung bertahan menduduki peringkat satu dan langsung terpilih
sebagai Sekum Rohis selama ini tak lebih baik dari pada sepuluh besarnya
Indra? Apakah karena jabatannya yang lebih tinggi? Apakah aku yang jadi
Qori-nya waktu MTQ tak lebih berharga dari pada teman – teman yang mendampingi?
Atau peranku dalam debat kemarin tak pernah dianggap? Usahaku yang mati-matian
mempertahankan nama sekolah kemarin percuma?
Aku
hanya diam ketika teman – teman saling berbangga. Apa kurangnya aku, sehingga
dilupakan? Prestasi sekolah oke, tak ada acara yang berlangsung tanpa ada
aku sebagai panitia ataupun pengisi acara, atau bahkan kedua – duanya. Entah
sebagai MC, pembuka acara, pengisi hiburan, nasyid, drama, puisi….atau..bahkan
pernah dari awal hingga akhir aku mengisi sebuah acara besar di sekolah. Lalu ?
“ehem….!”
Deg!!
Deheman
khas mas Aan mengagetkanku. Entah kenapa, walaupun telah sekian seratus kalinya
ia mendehem aku masih kaget.
“duh..serius
amat ngelamunnya. Tuh ampe gosong semua…”
o….o….
malu deh, huu…pasti aku diledek habis – habisan lagi nih…! Satu…dua….ti…
“nda,….”
Tuh kan..?
“
apa? Mau ngeledek lagi ? ayo…cepetan ngeledeknya”
“hm…jelek
deh, siapa yang mau meledek? “
O…o..ternyata
bukan ledekan tho..
“hm…?”
jawabku sambil mematikan kompor.
“
terkadang manusia bisa lupa, jadi…ketika apa yang telah kita perbuat untuk
orang lain dilupakan, kita harus ikhlas. Biarlah Allah yang akan membalas
amal kita tersebut.” Dahiku mengernyit. Mas tahu?
“tapi…..yang
nda masalahkan bukan itu mas, nda ikhlas dengan semua yang nda lakukan…tapi….”
Suaraku tersekat.
“ya…tapi
nda ingin dihargai sedikit kan?” ah, mas Aan selalu tahu pikiranku.
“
mungkin saat itu mereka lupa, tapi ingat nda..Allah tidak pernah lupa.
Cobalah untuk ikhlas sedikit…lagi, abisin deh…”
“nda
udah ikhlas…ikhlas..I-K-H-L-A-S .”
“tuh
kan…..jo…cantik juga kalo cemberut, coba lagi…”
“auk
ah..lap!..” hm…masku ini selu aja bikin aku nggak jadi marah. Gimana
nggak? Orang marah – marah malah dipuji – puji, aku kan paling sebel kalau ada
yang memuji… malu! He…he..
………………………..
Akhirnya
setelah ceramah panjangnya mas Aan, aku berangkat juga. Sengaja kusuruh mas Aan
yang sedang libur menungguku agak jauh dari deretan mobil mengkilap di depan
gedung sekolah. Memori masa lalu kembali terbayang di kepalaku. Gedung
ini…kelas ini… lapangan bola tempat yang dulu kerab kutongkrongi hamper tiap sore..
lapangan rumput yang dulu sering dipakai bermain softball..sudah berapa lama ya
aku tidak menginjakkan kaki di sini? Setelah puas bernostalgia sendiri, barulah
kulangkahkan kaki menuju aula tempat pertemuan itu.Namun, baru beberapa
langkah kakiku menyentuh lantai gedung serba guna itu..
“
May….apa kabar ? sini… kangen deh sama kamu…” suara Sintya memanggilku dan
bergegas menghampiriku yang masih mematung, lalu disusul riesma, Indra…dan
teman – teman lainnya yang ikut menyalamiku yang masih bingung.
“kita
kangen lho sama kamu May…”
“Iya…abis
nggak pernah ngasih kabar….” Sintya menimpali.
“apalagi
dengan puisi – puisi lo…cerpen lu..kaya’ dulu, dulu mah kita bisa maksa lu
bikin may… sekarang mo baca aja harus beli bukunya..”
haa…??
Aku bengong. Begitukah? Tapi…tapi kenapa dulu…?
“teteh..!”
sebuah wajah oval mengembalikanku ke aula itu. Teman – temanku yang
tadinya antusias ikut bingung. Ocha? Pimpinan redaksi buku tahunan itu? Mau apa
dia?
“teh,
pertama ocha minta maaf ke teteh, teteh inget nggak ada yang kurang di buku
tahunan itu?.
Aku
diam. Pasti.
“kenapa?”sahutku.
“iya
teh, kita minta maaf, profil teteh waktu itu kececeran… jadi nggak kecetak.
Maaf ya…jadi nggak ada profil teteh deh, tadinya tahun berikutnya kita mo
minta maaf ke teteh, tapi sampe tahun ketujuh teteh nggak datang – datang…”.
Apa??!
Aku tak percaya… jadi…Cuma gara – gara ini aku harus “ngambek” bertahun- tahun?
O….my God…!
“Kring…”
Nokia hadiah dari ibu mas Aan, yang terus memaksaku untuk menerima apa saja
hadiah darinya, di tasku berdering.
“halo,
assalamu’alaikum o…mas, aku masih lama di sini, tolong jemput aku tiga jam lagi
aja ya..!.” Klik! Kututup telpon, lalu kumasukkan ke tas kembali. Bisa
kubayangkan wajah bingungnya. Ah, Mendadak aula itu terasa begitu ramah dan
hangat di hatiku. Akupun tenggelam dalam indahnya jalinan persahabatan hari
ini. Terima kasih ya Allah, telah kau bukankan hati ini.. Terima kasih
sahabat…..
……..selesai………